T A B A H
Oleh: Baharuddin Lopa*)
S |
abar atau tabah adalah senjata hidup. Semua orang yang dilahirkan kemudian tumbuh dewasa tidak luput dari cobaan. Seseorang sewaktu-waktu dapat mengalami ujian dari Allah berupa memperoleh rezeki (kehidupan) yang lumayan, untuk dapat menghidupi diri bersama keluarganya. Tapi, dalam rezeki yang diperolehnya melekat kewajiban baginya untuk membantu golongan miskin, sebagaimana di-perintahkan oleh Allah, antara lain dalam surat al-Baqarah ayat 3: “Mendermakan sebagian daripada apa yang telah kami karuniakan kepada mereka.” Melalui ayat ini, jelas bahwa rezeki (kekayaan) itu adalah amanah Allah untuk dibaktikan kepada sesama umat.
Sebaliknya, seseorang dapat pula mengalami cobaan dari Allah lewat penderitaan hidup. Apakah penderitaan itu tidak menggoyahkan imamnya atau ia tidak berputus asa. Hal ini ditegaskan oleh Allah dalam Surah Al Baqarah ayat 155: ”Dan sesungguhnya Kami akan mencoba kamu antara lain dengan ketakutan dan kelaparan dan kekurangan harta dan jiwa serta buah-buahan, dan berilah kabar yang menyenangkan kepada mereka yang sabar”. Jelas Allah menjamin, siapa yang sabar menghadapi cobaan, ia akan mendapat kebahagiaan kelak. Arti sabar dalam hubungan ini bukan hanya tinggal di rumah menunggu rejeki dari langit. Tapi hendaklah ia berikhtiar sekuat tenaga untuk mengatasi cobaan itu. Orang yang dicoba senantiasa perlu menahan nafsu (marah). Sebab, kalau tidak, ia dapat mendorongnya melakukan perbuatan-perbuatan tercela (mem-balas dendam dsb), se-bagaimana diperingatkan oleh Allah dalam Surah Ali Imran ayat 134 : ” ... dan menahan marah, memaafkan manusia dan Allah itu mengasihani mereka yang berbuat kebajikan”.
Menurut pengalaman, orang yang sedang dicoba oleh Allah, misalnya lewat penderitaan yang kadang diiringi musibah bertubi-tubi, kesusahannya dapat hilang karena disadarinya bahwa peristiwa itu hanyalah cobaan dari Allah dan seseorang tidak beriman sebelum ia dicoba olehNya. Sebaliknya, bagi yang memperoleh ujian berupa kekayaan atau kekuasaan, ia bisa menjadi ketakutan, tidak tenang perasaannya, bahkan hidupnya mengalami keguncangan, bila ia menyalahgunakan amanah Allah itu.
Seorang hartawan yang tidak pernah bersedekah, bahkan kekayaannya bercampur dengan pendapatan yang tidak bersih, misalnya, atau seorang penguasa yang hanya tahu memperkosa hak-hak orang-orang kecil, hidupnya senantiasa berada dalam ketakutan karena setidak-tidaknya ia pun sadar bahwa balasan atas perbuatannya yang keji itu cepat atau lambat pasti akan datang. Ketakutan dan ketidaktenangan hidup yang dialaminya sudah merupakan siksaan batin tersendiri yang diberikan oleh Allah, yang akan disusul dengan siksaan yang amat pedih dihari kemudian kelak.
kiranya dikemukakan karena dewasa ini, orang-orang (pemimpin-pemimpin ?) yang tidak kuat, setidak-tidaknya mudah goyah prinsip hidupnya, makin bertambah. Salah satu ciri kecenderungan ini ialah mudahnya orang tergoda oleh hal-hal yang indah (kelihatannya menyenangkan secara lahiriah); tapi jelas belum tentu membahagiakan. Ciri lain ialah mudahnya ia meninggalkan rekan senasib, bahkan kalau perlu memfitnanya, hanya untuk memperoleh jalan pintas guna mendapatkan kekayaan dan kekuasaan. Baginya, hidup ini ke-sempatan. Siapa terlambat tidak akan kebagian. Halal atau haram bukan persoalan pokok. Hal hasil, menurutnya, pendirian bisa diubah-ubah, tergantung mana yang cepat memenuhi nafsunya yang sesungguhnya akan membawa malapetaka bagi hidupnya kelak.
Bukti bahwa ketabahan akan selalu membawa hasil dalam mem-perjuangkan sesuatu yang baik diperkuat oleh suatu cerita yang kami peroleh pada waktu mengunjungi Mesir beberapa tahun yang lalu. Alkisah, ada suatu keluarga di Mesir yang memiliki hanya satu anak, tapi cacat karena ia dilahirkan dalam keadaan buta. Setelah berusia 6 tahun, ia selalu menangis meminta kepada orangtuanya agar ia juga disekolahkan seperti anak-anak normal lainnya. Orangtuanya sadar bahwa anak yang disayangnya itu sulit diterima di sekolah.
Maka, atas petunjuk Allah pula, kedua orang tua tersebut membawa anaknya ke Rektor Universitas al Azhar di Kairo dan sungguh bergembira kedua orang tua tersebut, karena sang rektor mengambil dan mendidik anak itu. Ia ditugaskan melayani mahasiswa-mahasiswa yang akan diuji dan sarjana-sarjana yang akan menempuh ujian doktor. Berpuluh tahun ia bekerja sambil dibimbing langsung oleh rektor. Karena anak itu sendiri bersungguh-sungguh belajar, semua tanya jawab yang timbul dalam setiap ujian dan kuliah-kuliah yang diberikan oleh rektor dipahami olehnya. Kemajuan yang diperolehnya cukup meyakinkan. Maka sewaktu-waktu ia juga diuji untuk mendapat gelar Master, kemudian meraih gelar Doktor di Universitas al Azhar. Semua ujian dicapai dengan hasil memuaskan. Anak ini kemudian dikenal sebagai salah satu seorang intelektual terkemuka di Mesir. Pada saat Najib berkuasa (menjadi Presiden) ia diangkat menjadi Menteri Perguruan Tinggi dalam kabinet Najib.
Dengan cerita ini sekali lagi terbukti bahwa setiap usaha untuk mencapai kebaikan, asalkan dikerjakan dengan tabah, jujur dan sungguh-sungguh, insya Allah akan berhasil. Pendekatan keagamaan ini pulalah yang diterapkan terhadap para narapidana sehingga banyak di antara mereka menemukan kembali kepribadiannya setelah selesai menjalani pidananya.