Jumat, 04 April 2008

Edisi Pertama No 10

HIJRAH SEBAGAI SARANA MEREGUK CINTA KASIH ALLAH

Oleh : Ir. Ibrahim Ratin, M.Pd *)


Kau datang waktu gelap menye-luruh, saat musafir kehilangan arah, di tengah sahara terasing sesama, dalam kegerahan hati tinggal sendiri, kala itu sinar cintaMu memancar, harapan tumbuh menyemai para musafir lalu


A. IFTITAH
Kehidupan manusia penuh keluh kesah, ketakutan dan kegerahan, yang kaya takut jatuh miskin, yang miskin takut kelaparan, yang bekerja takut kehilangan pekerjaan, dan belum bekerja takut tidak dapat pekerjaan. Memang hidup manusia penuh semak belukar, tantangan dan cobaan. Akan tetapi kesemuanya itu tidak perlu disikapi dengan ketakutan-ketakutan yang berlebihan,karena Allah Maha Rahman dan Maha Rahim.

Dewasa ini banyak manusia yang terbelenggu dengan romantisnya kehidupan materialistis, sehingga tanpa disadari hidup mereka terancam kehilangan makna, tanpa arah yang pasti. Padahal gemerlap materi hanya mampu memberikan kenikmatan sesaat. Sementara gonjang-ganjing kehidupan materialistis dapat membuat manusia menjadi lelah, jenuh, dan salah jalan. Hidup seperti ini akan terasa gersang dan jauh dari nikmat.
Fenomena (gejala) kehidupan seperti ini pernah digambarkan oleh Rasulullah Muhammad SAW, beliau bersabda:

“Akan datang suatu masa, dimana kehidupan tidak dapat dicapai dengan layak, kecuali dengan maksiat. Apabila tiba masa itu padamu, maka larilah kamu (hijrahlah) ke jalan Allah”

Hadits di atas menggambarkan betapa sulitnya zaman yang akan dihadapi umat manusia. Kehidupan yang layak (dalam artian materi) hanya dapat dicapai dengan cara-cara maksiat. Tanda-tanda zaman itu, sebenarnya telah tiba dikehidupan kita saat ini. Ibarat Musafir, kita berada di persimpangan jalan yang penuh semak belukar, jika salah memilih jalan maka tersesatlah kita. Banyak orang yang sepintas kehidupannya terlihat penuh dengan kesenangan. Akan tetapi kesenangan itu berwujud materi dengan tanpa dilengkapi kesenangan spirituil (rohani). Karena itu tidak heran bila kita menemukan banyak orang kaya yang mengalami stress. Dengan kekayaannya mereka berusaha mencari kepuasaan hidup yang sebetulnya tidak ada ujungnya, sampai akhirnya mereka lelah sendiri. Memang tanpa kenikmatan spiritual orang bisa menjadi stress. Jika yang kaya bisa stress apalagi yang miskin. Jika pejabat saja bisa stress apalagi yang kehilangan jabatan. Jadi intinya disini adalah Manusia sejati membutuhkan kenikmatan spiritual. Jika rohaninya nikmat, maka hidup menjadi nikmat dan bermakna.

B. KEMBALI KE JALAN ALLAH

Sebagai solusi untuk mengantisipasi pengaruh zaman yang kian tak menentu, Rasulullah SAW menghimbau ummat agar kembali ke jalan Allah dengan cara hijrah dari hiruk-pikuk kehidupan duniawi.. Hijrah disini tidak berarti meninggalkan semua aktivitas duniawi, akan tetapi lebih berarti lebih ditekankan kepada upaya

memperoleh serta mempergunakan berbagai fasilitas duniawi dengan cara-cara yang di Ridhai Allah SWT, sehingga keseluruhannya bernilai ibadah. Mencari nafkah harus dilaksanakan dalam konteks ibadah, bahkan Islam menyetarakan perbuatan mencari nafkah yang dilakukan secara benar dan ikhlas adalah sama nilainya dengan seseorang yang sedang berjihad di jalan Allah.

Hijrah ke jalan Allah berarti menyerahkan dan menghambakan diri secara paripurna kepada Allah dengan tanpa meninggalkan keharusan berikhtiar, Faidza Azzanta Fatawakkal’alallah (berikhtiar semaksimal mungkin sembari bertawakkal kepada Allah). Hasil yang diperoleh dari ikhtiar ini harus dimaknai sebagai nikmat dari Allah yang wajib disyukuri. Allah berfirman:
“Barang siapa yang mensyukuri nikmatKu, niscaya ku akan tambah nikmat itu. Barang siapa yang kafir karena nikmat itu, ingatlah azabKu amatlah pedih” (Q.S. Ibrahim : 7).

Ciri-ciri orang yang hijrah ke jalan Allah diantaranya adalah:

1. orang-orang yang senantiasa mengarahkan seluruh aktivitas hidupnya dalam rangka ibadah kepada Allah (la ghayah illa Allah)

2. orang-orang yang mencintai Allah melebihi dari segala yang dicintainya (assyaddu hubbal lillah)

3 orang-orang yang lkhlas dalam menjalankan ibadah dan da’wah (mukhlisiina lahuddin)

4. orang-orang yang senantiasa bersyukur

5. orang-orang yang basah bibirnya karena berdzikir (dzikrullah)

6. orang-orang yang konsisten dalam iman dan ibadah (istiqomah)

7. orang-orang yang baik interaksinya terhadap sesama insan (hablumminannaas)

8. orang-orang yang jauh dari perbuatan maksiat

9. orang-orang yang tidak menyom-bongkan dirinya baik dalam perilaku sosial maupun dalam menunaikan tugas agama

10. orang-orang yang senantiasa berkurban dan berjihad di jalan Allah


C. MEREGUK CINTA KASIH ALLAH

Orang-orang yang berhijrah karena Allah dijamin akan merasakan nikmatnya hidup dalam iman. Hidupnya penuh ketentraman, kedamaian, rasa optimis dan terlepas dari berbagai bentuk ketakutan. Mereka akan memperoleh kenikmatan spiritual yang tidak dapat dilukiskan. Bagi mereka hidupnya dalam jaminan Allah, sebagaimana firmanNya:

“Barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan keluarkan dia dari segala kesulitan. Dan memberikan mereka rezeki dari sumber yang tidak terduga” (Q.S At Thalaq : 2 – 3)

Orang-orang yang berhijrah adalah orang-orang yang senantiasa merendahkan diri di mihrab tempat sujud mereguk cinta kasih Allah. Mereka mencintai Allah dan Allah-pun mencintai mereka. Merekalah ummat yang disebut dalam Surat Al-Maidah ayat 54 :

“Allah akan mendatangkan suatu ummat yang dicintaiNya dan mencintaNya”
Dalam implementasinya, mereka selalu mengikuti jejak Rasulullah SAW, sebagaimana firmanNya:
“Jika kamu mencintai Allah, maka turutilah aku (Rasul) niscaya Allah akan mencintaimu” (Q.S. Ali Imron : 30)

D. KHOTIMAH
Sebagai penutup, ada baiknya kita renungkan beberapa syair dari Rabi’ah al ‘Adawiyah (713 – 801 Hijriyah) yang isinya sebagai berikut:
“Aku mengabdi pada Allah bukan karena takut pada Neraka, dan bukan pula ingi masuk surga, tapi kesemuanya karena cintaku padaNya”. Tuhanku, jika kupuja Engkau karena takut pada neraka, maka biarkanlah aku masuk didalamnya; jika kupuja Engkau karena mengharapkan surga, maka jauhkanlah surga itu dari padaku; Tetapi jika Engkau kupuja semata-mata karena cintaku padaMu, maka janganlah sembunyikan kein-dahanMu yang kekal itu dariku.
*) Penulis adalah mantan ketua umum HMI CabangI Bengkulu





Senin, 31 Maret 2008

Edisi Pertama No 9

TAQWA

Oleh: Andy Wijaya*)

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu adalah yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (Q.S. 49 : 13)

Ayat di atas diawali dengan pemaparan fakta kesinambungan naluri manusia untuk hidup berkolektif, yaitu seorang laki-laki, seorang perempuan, bangsa dan suku. Fakta ini lebih merupakan “tanda material” bagi manusia untuk saling kenal mengenal. Dan juga menyiratkan kesetaraan manusia dalam perspektif gender maupun komunitas. Artinya tak ada yang lebih unggul dari seorang laki-laki atas perempuan atau sebaliknya, juga tak ada yang lebih unggul suatu suku atas suku yang lain dan suatu bangsa atas bangsa lain. Cara Pandang yang seperti inilah yang dimaksudkan oleh Kuntowijoyo sebagai liberasi-humanisasi, bahwa perintah Allah selalu berkesesuaian dengan fitrah manusia sekaligus membebaskan manusia dari tawanan sesuatu yang bersifat material.

Fakta sosial-historis memperlihatkan bagaimana hidupnya pandangan bahwa laki-laki lebih unggul daripada perempuan pada berbagai kebudayaan dan peradaban. Bahkan pada berbagai momentum, terutama politik, muncul pandangan bahwa perempuan tak bisa menjadi pemimpin dengan berbagai argumen yang juga didasari atau mengacu pada nilai-nilai agama. NAZI Jerman adalah bentuk dari pandangan yang menganggap Ras Arya (bangsa Jerman) sebagai ras manusia yang paling unggul dibanding ras yang lain. Begitu juga dengan bangsa Yahudi yang menganggap mereka sebagai bangsa pilihan.

Pernyataan “agar saling kenal mengenali” mengharuskan manusia untuk saling mempelajari antar budaya berbagai bangsa dan suku. Kemampuan kenal mengenali, kalau mampu dipraktekkan oleh umat Islam, maka umat Islam akan lebih mampu menegaskan posisinya sebagai umatan wasathan (umat tengah-tengah).

Lalu, dimana letak keunggulan manusia? Meneruskan ayat Al Qur’an di atas, maka letak keunggulan tersebut adalah yang paling bertaqwa di antaramu. Kata taqwa menjadi kata kunci untuk kita mendapatkan pengertian. Pengertian taqwa dapat kita pahami seperti pada Q.S Al Baqarah ayat 2-5 dan 177 (masih banyak ayat-ayat lain), yaitu mereka beriman pada Allah, pada yang gaib, pada Kitab Suci, pada malaikat; menegakkan sholat; membayar zakat; menafkahkan sebagian rezeki yang didapat; menepati janji bila berjanji; menyantuni anak yatim, fakir miskin, musafir; orang-orang yang sabar dalam kesempitan. Ini artinya taqwa adalah akumulasi dari iman (keyakinan atau tujuan hidup), ilmu (pedoman untuk menentukan arah yang dilakukan) dan amal (bagaimana mewujudkan tujuan).

Dengan begitu seseorang laki-laki dikatakan lebih baik dari seorang perempuan atau suatu bangsa atas bangsa yang lain atau suatu suku atas suku yang lain lebih dikarenakan ia memiliki keyakinan hidup, tahu arah yang dituju dan mampu mewujudkannya ke dalam bentuk aktivitas-aktivitas nyata. Dan umat Islam sebagai khairu ummah (umat yang terbaik) tentunya harus mewujudkan konsepsi bertaqwa dalam kesehariannya. Dan sesungguhnya hanya orang-orang yang bertaqwa akan menemukan kebenaran Al Quran (QS. Al Baqarah/2 : 2) dalam hidupnya.

Problema taqwa dalam konteks ”saling kenal-mengenali” apabila tidak dipraktekkan dalam kehidupan nyata sehari-hari maka dapat mengakibatkan disintegrasi sosial. Hal ini terjadi karena suatu kelompok masyarakat yang enggan untuk mempelajari kelompok masyarakat yang lain dapat menumbuhkan rasa lebih unggul dari kelompok lain sehingga penindasan dan intoleransi sangat mungkin untuk terjadi.

Penjelasan konsep Taqwa seperti yang dipaparkan di atas, mengarahkan kehidupan Muslim untuk menterjemahkan konsep Taqwa pada hal yang sifatnya lebih luas, yaitu pada kehidupan bermasyarakat dan berbangsa bukan hanya pada konsep Taqwa yang bergerak pada wilayah individual.

Dengan kata lain seseorang dapat dikatakan bertaqwa diawali dari ketaqwaan individual kemudian dioperasionalisasikan pada kehidupan sosial-kemasyarakatan.

Jadi, dengan demikian kualitas ketaqwaan seseorang tidak bisa hanya diukur dari praktek-praktek ibadah yang sifatnya individual, tapi juga harus dilihat dari seberapa besar manfaat seseorang dalam kesehariannya pada masyarakat; sebagai bentuk manifestasi dari ketaqwaan individualnya.

*) Penulis adalah Sekretaris KAHMI Wilayah Bengkulu Periode 2007 - 2012