Minggu, 02 Maret 2008

Edisi Keenam

ANDHIKA

Oleh M. Azam Prihatno Azwar*)


“Dengan mengucapkan Alhamdulillah hirobbil ‘alamin rapat pembentukan panitia kegiatan Tahun Baru Hijrah ditutup. Demikian kata pembawa acara sewaktu menutup rapat, yang telah berlangsung sejak pagi hingga sore dengan waktu istirahat hanya untuk sholat Zhuhur.
Andika dengan wajah sedikit kusut, setelah pamit dengan kawan-kawan, pulang dengan gontai menuju rumah kost yang belum lunas sewanya. Di perjalanan, terbayang olehnya ketika ia menyatakan kesediannya untuk menjadi ketua panitia.

Ia masih mempertanyakan atas keberaniannya menerima amanah tersebut. Apakah mampu ia untuk mengemban amanah yang terasa berat, ketika ia telah berada di luar ruang rapat.

Kadang timbul rasa optimis namun seketika itu juga rasa pesimisnya juga muncul. Namun sekarang ia tidak mau tahu dengan semua itu.
Hatinya telah bertekad, bahwa ia tidak akan mundur, ia tidak akan menarik kembali pernyataan kesediaannya untuk menjadi ketua panitia. Sukses atau tidak itu urusan nanti, demikian ia menguatkan tekadnya.
Sesampainya di rumah (gubug) hari telah menunjukkan pukul 16.00 WIB. Dan tercium bau kurang sedap dari arah dapur. Ternyata itu adalah bau nasi yang sudah 2 hari tidak ia makan, karena memang tidak ada “teman nasi” untuk dimakan. Dengan sedikit menggerutu ia mengamankan “aib dapur anak kost” tersebut.

Dengan perut yang agak melilit, karena memang belum diisi apapun kecuali secangkir kopi dan asap rokok, ia melangkah ke sumur, membasuh muka

untuk mengambil air wudhu. Terasa segar badannya ketika air suci itu menelusuri pori-pori wajahnya. Rasa hausnya terlepas tatkala ia memasukkan air ke mulut untuk “kumur-kumur” dan ditelannya air suci yang belum dimasak itu.

Sajadah dihamparkannya di ruang kamarnya yang pengap, yang penuh dengan hiasan kaligrafi. Ia pusatkan konsentrasinya kepada Yang Maha Agung, Maha Lembut. Ia coba lupakan panitia, ia lupakan perutnya yang keroncongan. Hanya Dia yang coba ia konsentrasikan.

Astaghfirullah, ampuni hamba ya Allah. Disucikan dirinya dari dosa-dosa yang melekat. Dan dengan tenang dia mengagungkan Sang Pemberi ketenangan dan masuk ke alam yang “asing”; dan dimana dia berada bukan pada dirinya, bukan pada alamnya. Tapi pada alam Allah, pada diri Allah Yang Maha memiliki.

Sejuta rasa ia tumpahkan seluruhnya ke Makkah; kiblat utama insan yang merindukan sesuatu yang “asing”; sesuatu yang selalu dirindukannya. Perasaan rindu, kasih cinta semakin dalam terasa ketika ia merendahkan pusat kesombongannya pada yang paling hina dari ke-Andhika-annya.

Perjalanannya semakin jauh menembus relung-relung kenikmatan rohani, semakin dekat kepada pusat kerinduan. Kerinduan yang menciptakan nikmat tiada tara; kenikmatan nur; kenikmatan cahaya mistis. Batinnya melangkah dengan pasti tanpa ada yang akan mampu menghentikan langkahnya.

Sesekali perutnya menggelapkan kenikmatan “cahaya mistis”, ketika sang usus melilit meminta jatah kerja. Hanya spiritual sucilah yang menghentikannya kebinalan usus itu. Dan ia bersyukur bahwa ia diberi kekuatan spiritual suci, hingga perjalanannya tidak terhenti.

Kemudian diselesaikannya perjalanan “aneh” tersebut. Walaupun ia merasa berat untuk menghentikannya, salam dan syukur yang murni dari hati nurani; itulah yang dapat dilakukannya, atas pemberian perjalanan tersebut. Segala Puji bagi-Mu, ya Allah, Engkaulah tuhanku, tuhan dimana aku dapat mengalami kedalaman hati nurani yang selalu merindukanmu.

···········

Kisah di atas menggambarkan sosok orang yang ingin mengabdikan dirinya pada suatu kegiatan yang membawa manfaat bagi sosial dan religi. Akan tetapi ada kendala ekonomi yang dihadapinya, namun demikian diantara beban ekonomis yang

disandangnya tidak menyurutkan tekadnya untuk memikul tanggung jawab sosial yang diamanahkan kepadanya. Keinginan dan dorongan yang kuat untuk berbuat kebaikan baginya merupakan manifestasi dari imannya kepada Allah SWT, yang telah menganjurkan untuk selalu berlomba-lomba berbuat kebaikan. Selain itu, karena kehidupan di dunia ini hanya sementara, maka tidak ada jalan lain agar ia mendapatkan tempat yang layak di akhirat nanti adalah dengan berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya dalam bentuk apapun.

Adapun kendala-kendala pribadi yang dihadapinya, seperti kemiskinan, memang menghalangi tekad dan niatnya untuk mengabdi kepada Allah, untuk itu ia selalu menguatkan mental spiritualnya melalui ritual-ritual agama. Ia sangat meyakini bahwa apabila hal tersebut dilakukan maka Allah pasti akan meringankan beban dan memberikan kekuatan mental-spiritual, sebagai bekal utama dalam ia melaksanakan kebaikan. Dalam ritus ibadah yang dilaksanakannya tertuanglah segala asa dan harapan yang dipersembahkan kepada Tuhan Yang Maha Segala.

Dengan kekhusyukan yang dibangun tersebut maka tumbuhlah rasa ikhlas yang menjadi senjata pamungkas baginya untuk menghilangkan beban-beban duniawi yang mengganggu kerja-kerja sosial-religius yang sedang dibangunnya.
Baginya hanya yang seperti inilah yang dapat dipersembahkan kepada Tuhannya. Ia memang tidak banyak tahu tentang ilmu agama tapi bukan berarti tidak dapat berbuat untuk agama. Agama baginya adalah kerja bukan hanya bicara, orientasi hidupnya hanya untuk akhirat yang dilandasi dengan kegiatan (amal-sholeh) selama di dunia.
Yang penting baginya bahwa pengetahuan yang minim dan tekanan ekonomi yang dihadapinya bukan berarti tidak dapat berbuat untuk sosial dan agama, orang itu bernama ANDHIKA.

*) Penulis adalah salah satu pengurus masjid dan masih aktif di lembaga sosial masyarakat




Edisi Kelima

SYAHADAT

Oleh M. Azam Prihatno Azwar*)

Setiap manusia yang mengaku Muslim, adalah orang yang selalu tunduk dan pasrah kepada Tuhan Yang Maha Segalanya. Hal ini sesuai dengan kehendak syahadat yang senantiasa kita ikrarkan. Ikrar yang kita ucapkan dalam syahadat mengandung beberapa hal, yaitu:

1. Pengakuan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan;

2. Muhammad adalah Rasul Allah

Dari pernyataan syahadat tersebut dapat kita analisa beberapa hal sebagai berikut:
“Bahwa untuk bertuhan yang sejati kita harus membunuh Tuhan-tuhan selain Allah”

Pada zaman awal Islam Tuhan-tuhan palsu berbentuk patung-patung yang disembah yang padanya ditempelkan mitos-mitos kehebatan pada patung tersebut. Pada zaman sekarang Tuhan-tuhan palsu tidak lagi hanya berbentuk patung-patung tapi juga berupa paham (isme) yang diyakini dapat membawa kebahagiaan yang hakiki pada diri manusia.

Paham-paham tersebut menjadi Tuhan, apabila paham tersebut diposisikan sebagai sesuatu yang menggantikan kekuasaan Tuhan yang sejati. Untuk mengetahui paham apa saja yang telah menjadi Tuhan-tuhan palsu,

kita dapat memulainya dengan mendalami tentang Tuhan sejati yaitu Allah SWT.

Pendalaman tentang Allah SWT dapat dimulai dari mengenali sifat-sifatnya. Apabila sifat Allah tersebut telah kita pahami maka kita bandingkan dengan dengan sifat paham-paham yang berkembang sekarang. Perbandingan tentang sifat Allah dan sifat paham-paham tersebut inilah yang kemudian dapat menentukan kepribadian muslim yaitu: kalau si muslim tersebut lebih meyakini sifat Allah SWT dengan mengambilnya sebagai pilihan hidup maka jadilah ia sebagai muslim yang sejati, begitu juga sebaliknya.

Dengan cara ini dapat diukur kualitas kemusliman seseorang. Umpamanya kalau diyakini bahwa Allah memiliki sifat sebagai Yang Maha pemberi rezeki, maka tidak akan terjadi ada orang dalam memperoleh rezeki dilakukan dengan cara-cara yang dilarang olehNya, seperti, dengan cara mencuri, korupsi, berbohong, sogok menyogok dan sebagainya.

Kalau cara tersebut masih dilakukan maka dapat dikatakan keyakinan terhadap Allah SWT sebagai Maha pemberi rezeki belum dimiliki dengan sempurna, atau dengan kata lain ada keraguan terhadap sifat Allah tersebut, dan lebih meyakini paham yang mengajarkan bahwa untuk memperoleh rezeki boleh dilakukan dengan cara-cara yang tidak halal.

Kejadian seperti ini artinya menciptakan Tuhan-tuhan baru selain Allah. Padahal, sesuai dengan keinginan dan konsekuensi dari syahadat bahwa paham seperti ini harus dibunuh karena telah menjadi Tuhan baru. Selanjutnya, setelah sifat Allah SWT kita ketahui dan yakini, maka langkah selanjutnya adalah pendalaman tentang diri Rasul Allah yaitu Muhammad SAW.

Muhammad SAW harus dijadikan suri tauladan bagi setiap muslim. Menjadikan Muhammad SAW sebagai suri tauladan dapat kita lakukan apabila kita mendalami shirah Muhammad, melalui hadits-haditsnya maupun sejarah kehidupannya.
Bagaimana mungkin kita dapat menjadikan Muhammad sebagai tauladan tanpa mengetahui siapa Muhammad SAW tersebut.
Cukup tragis terjadi pada umat Islam, apabila lebih mengetahui sejarah hidup selebritis dibanding Rasulnya, karena memang mereka lebih senang mengenal selebritis tersebut dibanding Muhammad SAW. Bahkan mereka yang dengan sepenuh hati berupaya mencontoh kehidupan Rasul dicemooh dengan berbagai cemoohan.
Pengingkaran terhadap kekuasaan Allah SWT dan tidak mengenal sosok Muhammad SAW menjadikan umat Islam semakin terpuruk dalam kancah peradaban dunia.

Kondisi yang seperti inilah menjadi problem utama umat Islam sekarang ini, sehingga Islam hanya menjadi agama yang sempurna di ajarannya tapi tidak pada umatnya. Keyakinan bahwa Islam adalah agama yang paling sempurna hanya pada kitab suci Al-Qur’an , tidak ditemui pada umatnya.

Maka sangat berbahaya kalau syahadat hanya dapat diucapan tapi tidak diketahui konsekuensi dari syahadat tersebut. Karena itu, memang tepat, dalam rukun Islam syahadat diposisikan pada nomor urut pertama, karena ia adalah pondasi bagi umat Islam. Tidak mungkin bangunan menjadi kuat tanpa pondasi yang kuat; tidak mungkin umat Islam dapat kuat kalau pondasinya (yaitu syahadat) tidak dihayati oleh umat Islam.

Kalau kita menginginkan Islam akan kembali menjadi peradaban besar, seperti yang pernah terjadi di Madinah pada masa Rasulullah dulu, sempurnakanlah syahadat. Jadikan syahadat sebagai tolok ukur pada setiap aktivitas kehidupan.
Mengingat begitu strategisnya fungsi syahadat dan begitu bahayanya apabila syahadat kita sepelekan, maka tidak ada alasan bagi kita untuk tidak mulai memperbaharui syahadat, mendalami maknanya, dan mempelajari konsekuensi-konsekuensi syahadat, kecuali kalau kita memang tidak menginginkan Islam berjaya dan tidak menginginkan selamat dunia dan akhirat!
*) Penulis adalah salah satu pengurus masjid dan masih aktif di lembaga sosial masyarakat








Edis Keempat

KELUARGA KUNCI KESUKSESAN

Oleh Beni Rasdiwansyah*)

Keluarga merupakan pondasi pertama seseorang dalam mengarungi kehidupan ini, karena


keberhasilan dan kegagalan seseorang lebih banyak dipengaruhi oleh faktor keluarga namun tidak semua ini mempengaruhinya, masih banyak faktor-faktor lain yang mempengaruhinya.
Maraknya kasus penganiayaan terhadap orang tuanya, misalnya dengan melakukan pemukulan ringan sampai berat bahkan adapula yang membunuh orang tuanya sendiri.(Nauzubiillah min dzalik). Adapula anak yang broken home, anak mencari perhatian di luar, mencari identitas diri yang tidak dibimbing oleh kedua orang tuanya, yang akibatnya anak salah pergaulan, minum-minuman, narkoba dan lain-lainnya. Anak hanya diberi secara kebutuhan materi saja tanpa diimbangi dengan kebutuhan sprituil. Adapula kasus orang tua yang melakukan korupsi di tempat kerjanya sehingga membuat malu anggota keluarga, keluarga menjadi minder menghadapi lingkungan sekelilingnya.
Dari kejadian-kejadian di atas maka dapat kita tarik permasalahan? Mengapa ini terjadi? Dan bagamana kita menyikapi masalah ini?
Menurut KH. Abdullah Gymnastiar penyebab mengapa ini terjadi, diantaranya:

· Karena dia (orang tua) tidak pernah punya waktu yang memadai untuk mengoreksi dirinya. Sebagian orang terlalu sibuk dengan kantor, urusan luar dari dirinya akibatnya dia kehilangan fondasi yang kokoh, karena orang tidak bersungguh-sungguh menjadikan keluarga sebagai basis yang penting untuk kesuksesan.
· Sebagian orang tua hanya mengurus keluarga dengan sisa waktu, sisa pikiran, sisa tenaga, sisa perhatian, sisa perasaan, akibatnya seperti bom waktu. Walaupun uang banyak tetapi miskin hatinya. Walaupun kedudukan tinggi tapi rendah keadaan keluarganya.
Oleh karena itulah, jikalau kita ingin sukses, mutlak bagi kita untuk sangat serius membangun keluarga sebagai basis (base), Kita harus jadikan keluarga kita menjadi basis ketentraman jiwa. Bapak pulang kantor begitu lelahnya harus rindu rumahnya menjadi oase ketenangan. Anak pulang dari sekolah harus merindukan suasana aman di rumah. Istri demikian juga. Jadikan rumah kita menjadi oase ketenangan, ketentraman,
kenyamanan sehingga bapak, ibu dan anak sama-sama senang dan betah tinggal dirumah.

Adapun yang perlu kita lakukan dalam menghadapi ini, maka perlu diupayakan:

· Jadikan rumah kita sebagai rumah yang selalu dekat dengan Allah SWT, dimana di dalamnya penuh dengan aktivitas ibadah; sholat, tilawah qur'an dan terus menerus digunakan untuk memuliakan agama Allah, dengan kekuatan iman, ibadah dan amal sholeh yang baik, maka rumah tersebut dijamin akan menjadi sumber ketenangan.
· Seisi rumah Bapak, Ibu dan anak harus punya kesepakatan untuk mengelola perilakunya, sehingga bisa menahan diri agar anggota keluarga lainnya merasa aman dan tidak terancam tinggal di dalam rumah itu, harus ada kesepakatan diantara anggota keluarga bagaimana rumah itu tidak sampai menjadi sebuah neraka.
· Rumah kita harus menjadi "Rumah Ilmu" Bapak, Ibu dan anak setelah keluar rumah, lalu pulang membawa ilmu dan

pengalaman dari luar, masuk kerumah berdiskusi dalam forum keluarga; saling bertukar pengalaman, saling memberi ilmu, saling melengkapi sehingga menjadi sinergi ilmu. Ketika keluar lagi dari rumah terjadi peningkatan kelimuan, wawasan dan cara berpikir akibat masukan yang dikumpulkan dari luar oleh semua anggota keluarga, di dalam rumah diolah, keluar rumah jadi makin lengkap.

· Rumah harus menjadi "Rumah pembersih diri" karena tidak ada orang yang paling aman mengoreksi diri kita tanpa resiko kecuali anggota keluarga kita. Kalau kita dikoreksi di luar resikonya terpermalukan, aib tersebarkan tapi kalau dikoreksi oleh istri, anak dan suami mereka masih bertalian darah, mereka akan menjadi pakaian satu sama lain. Oleh karena itu,barangsiapa yang ingin terus menjadi orang yang berkualitas, rumah harus kita sepakati menjadi rumah yang saling membersihkan seluruh anggota keluarga. Keluarga banyak kesalahan dan kekurangan, masuk kerumah saling mengoreksi satu sama lain sehingga keluar dari rumah, kita bisa mengetahui kekurangan kita tanpa harus terluka dan tercoreng karena keluarga yang mengoreksinya.

· Rumah kita harus menjadi sentra kaderisasi sehingga Bapak-Ibu mencari nafkah, ilmu, pengalaman wawasan untuk memberikan yang terbaik kepada anak-anak kita sehingga kualitas anak atau orang lain yang berada dirumah kita, baik anak kandung, anak pungut atau orang yang bantu-bantu di rumah, siapa saja akan meningkatkan kualitasnya. Ketika kita mati, maka kita telah melahirkan generasi yang lebih baik.
Tenaga, waktu dan pikiran kita pompa untuk melahirkan generasi-generasi yang lebih bermutu, kelak lahirlah kader-kader pemimpin yang lebih baik. Inilah sebuah rumah tangga yang tanggung jawabnya tidak hanya pada rumah tangganya tapi pada generasi sesudahnya serta bagi lingkungannya.

*) Penulis adalah salah satu pengurus masjid dan staf pengajar di salah satu SMK Swasta.





Edisi Ketiga

MANUSIA DAN FUNGSINYA

Oleh M. Azam Prihatno Azwar*)

Sebagaimana kita ketahui bahwa tujuan penciptaan manusia adalah untuk menjalankan fungsinya sebagai ”Hamba Allah” dan ”Khalifah di muka bumi”. Kedua fungsi manusia di atas menjelaskan kepada kita bahwa ada 2 (dua) hubungan yang mesti dijalaninya, yaitu: ketika berhadapan dengan sang Khalik, fungsi yang dijalankan adalah fungsi hamba Allah, kemudian ketika berhadapan dengan selain sang Khalik fungsi yang dijalankan adalah fungsi khalifah. Pelaksanaan kedua fungsi tersebut dilaksanakan oleh manusia tidak dalam waktu yang berbeda, akan tetapi, ketika manusia ingin ”sukses” dalam mejalankan kekhalifahannya harus disertai dengan perasaan tunduk dan patuh pada perintah Allah (fungsi Hamba Allah); begitu juga sebaliknya, sempurnanya fungsi ”Hamba Allah” digambarkan dalam kesuksesannya dalam menjalankan fungsi ”kekhalifahannya”.

Jadi, fungsi hamba Allah dan khalifah ibarat 2 sisi mata uang, ”berbeda tapi tidak dapat dipisahkan” Terjemahan firman Allah yang relevan dalam fungsi manusia sebagai khalifah adalah sebagai berikut:


”Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesunggunya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (Q.S : Al-Jatsiyah/45 :13)
selain itu Al-Qur’an juga menyebutkan bahwa Allah telah menciptakan manusia dalam bentuk ciptaan yang terbaik (Q.S : At-Tiin/95 : 1 – habis)

Dari dua point penjelasan Al Qur’an di atas dapat diambil suatu makna yang menjelaskan bahwa terdapat konsep penundukkan alam untuk manusia. Konsep itu sekaligus juga berhubungan dengan ”design” Tuhan bahwa manusia adalah puncak ciptaanNya. Maka sebagai makhluk tertinggi, manusia harus ”melihat ke atas” hanya kepada Allah, kemudia kepada sesamanya harus melihat dalam garis mendatar yang rata, dan kepada alam harus melihat ke bawah, dalam arti melihatnya dengan kesadaran bahwa dalam hirarki ciptaan Tuhan, alam adalah lebih rendah daripada dirinya.
Oleh karena itu semualah, maka perilaku syirik dikategorikan sebagai dosa terbesar, Tuhan membenci syirik bukan karena dengan perbuatan tersebut kekuasaannya akan berkurang atau Tuhan cemburu, akan tetapi karena manusia merendahkan martabat kekhalifahannya sendiri sebagai makhluk yang paling sempurna ciptanNya dibandingkan ciptaan Tuhan yang lain.
Konsep tentang fungsi manusia ini harus benar-benar dipahami oleh setiap manusia muslim agar dapat memposisikan diri pada posisi yang tepat yaitu: hanya tunduk pada Tuhan, tidak melakukan kezaliman/memandang rendah pada
sesama dan menjadikan alam sebagai alat untuk lebih mendekatkan diri pada Tuhan, melakukan penindasan kepada sesama manusia dan menjadikan alam sebagai Tuhan-Tuhan tandingan.
Banyak contoh-contoh perbuatan manusia yang lari dari fungsinya sebagai manusia, umpamanya berjudi, berzinah, minum khamar dan sebagainya. Perbuatan ini bentuk dari kesombongannya kepada Tuhan karena Tuhan melarang perbuatan tersebut; setiap bentuk pelanggaran terhadap perintah Tuhan sebenarnya merupakan manifestasi kesombongan manusia terhadap Tuhannya.

Contoh lainnya seperti tindakan korupsi, pembunuhan, penganiayaan dan sebagainya adalah merupakan bentuk perbuatan yang tidak menghormati harkat dan martabat sesama manusia. Contoh yang berkaitan dengan penyerahan diri yang berlebihan pada alam antara lain adalah praktek-praktek ritual yang berbentuk penyembahan pada selain Allah dan percayai bahwa kalau ritus-ritus tersebut tidak dilaksanakan maka bencana akan menimpa manusia.
Kerugian manusia karena syirik terwujud dalam ketundukan apriori dirinya kepada alam atau unsur alam yang dipujanya atau yang sekurangnya dipercayai memiliki kemampuan lebih daripada yang secara hakiki dan wajar terdapat pada alam atau unsur alam itu. Dengan syiriknya itu, manusia merosot dari kedudukannya sebagai makhluk yang mengatasi alam menjadi makhluk yang berada dibawahnya.
Sebab masih sering ditemui, banyak manusia yang berlaku sombong pada Tuhan, kedudukannya sebagai makhluk yang mengatasi alam menjadi makhluk yang berada dibawahnya.

”Barang siapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh” (Q.S : Al-Hajj/22 : 31)
Untuk menjalankan tugasnya sebagai khalifah Allah di muka bumi diperlukan ilmu pengetahuan, tanpa ini fungsi khalifahnya akan tidak sempurna. Peranan ilmu pengetahuan inilah yang nantinya akan menentukan kualitas kekalifahan seseorang. Logikanya, semakin tinggi ilmu pengetahuan yang dimiliki seseorang akan semakin berkualitas kekhalifahannya yang dijalankannya, karena dengan ilmu pengetahuan itulah manusia akan dapat menundukkan alam.

Meskipun demikian bukan berarti hanya ilmu pengetahuan yang dapat menyempurnakan fungsi kemanusiaan, ilmu pengetahuan juga dapat menjatuhkan martabat kemanusiaan, maka untuk menghindari kejatuhan, manusia memerlukan petunjuk Ilahi, sebagai ”spiritual safety net”. Dengan petunjuk Ilahi itu disertai kedalaman ilmu pengetahuan manusia akan tidak tersesat dari fungsinya Kelengkapan lain yang perlu dimiliki manusia dalam menjalankan fungsinya adalah kebebasan, namun tetap mengenal batas pelanggaran terhadap batas itu membuat manusia jatuh tidak terhormat. Dorongan untuk melanggar batas ialah nafsu serakah, yaitu perasaan tidak pernah puas dengan anugerah Tuhan.
Sebagai penutup dari tulisan ini, kami sampaikan satu ayat dari Al Qur’an sebagai bahan renungan yaitu sebagai berikut:

Ingatlah ketika TuhanMu berfirman kepada para malaikat: ”sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: ”Mengapa engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan berbuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau”. Tuhan berfirman: ”sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui” (Q.S Al Baqarah/2:30).
*)Penulis adalah salah satu pengurus masjid dan masih aktif di lembaga sosial masyarakat