Jumat, 21 Maret 2008

Edisi kedelapan

MAULID NABI; QUO VADIS ?

Oleh M. Azam Prihatno Azwar*)

P

ada tanggal 20 Maret 2008 ini bertepatan dengan 12 Rabiul Awal 1429 H, suatu hari yang sangat bersejarah, bukan hanya bagi umat Islam, tapi juga bagi seluruh umat manusia. Karena, pada hari tersebut, tepatnya pada tahun 570 M atau 53 tahun sebelum Hijrah, lahirnya sesosok manusia yang nantinya akan mempelopori sebuah revolusi peradaban dunia; peradaban yang penuh dengan keteraturan kemajuan yang transendental. Manusia tersebut bernama Muhammad Rasul Allah SAW.

Perjalanan hidup beliau dipenuhi dengan perjuangan revolutif, baik phisik-material maupun mental-spiritual. Bahkan perjalanan revolutif beliau tersebut membawa perubahan terbesar dalam sejarah kehidupan umat manusia. Beliau menjadi sosok yang teguh dalam menegakkan keadilan, konsisten dalam menundukkan kelaliman dan memiliki rasa belas kasih yang tak terperi.

Dengan kebesaran dan kemuliaan yang dimilikinya membuat manusia seluruh dunia memperingari hari lahir beliau dengan penuh cita-cita dan harapan agar dapat selalu mengambil hikmah dari kehadirannya di muka bumi, demi kepentingan umat manusia itu sendiri. Maka, oleh karena itu, diciptakanlah berbagai macam seremoni agar peristiwa kelahiran beliau tersebut bisa “berkesan” bagi yang memperingatinya, meskipun beliau tidak pernah menganjurkan umatnya untuk memperingati hari lahirnya. Mulai dari yang sangat sederhana, seperti mengadakan ceramah seputar hari lahir beliau, sampai dengan kegiatan yang penuh dengan nuansa mistis, seperti yang biasa kita saksikan pada sebagian masyarakat kita.

Terlepas dari apa yang dilakukan umat dalam memperingati hari lahir beliau, yang terpenting perlu kita sikapi dari peristiwa ini adalah seberapa besar

manfaat yang bisa kita ambil untuk kehidupan umat manusia, kini dan masa mendatang. Jangan sampai kegiatan yang dilakukan terjebak pada suatu rutinitas yang tidak membawa arti apa-apa bagi umat; Kegiatan peringatan hari lahir Muhammad SAW (Maulid Nabi) dilaksanakan hanya karena perasaan “tidak enak” kalau tidak dilaksanakan. Kalau hal ini yang terjadi, maka jangankan untuk mendapatkan hikmah, pelaksanaanya pun akan terasa kering dan menjemukan, baik bagi pelaksana kegiatan maupun jama’ahnya, sehingga akhirnya , manfaat yang diharapkan akan susah didapat.

Untuk mencegah agar kegiatan Maulid Nabi tidak terjebak pada suatu rutinitas belaka, kita harus memulainya dari suatu pertanyaan: “Apakah tujuan dalam melaksanakan peringatan Maulid?”. Jawaban dari pertanyaan ini akan memunculkan pertanyaan berikutnya, yaitu “Bagaimana caranya agar tujuan dari peringatan tersebut dapat tercapai?” dan akhirnya “Apa bentuk kegiatannya?”. Dengan metode ini diharapkan akan muncul suatu kegiatan Maulid yang cerdas-kreatif dan kontekstual terhadap permasalahan umat yang terjadi saat ini.

Jawaban dari pertanyaan ”Apa tujuan peringatan Maulid?”, diawali dari persoalan lokal umat yang ada di sekitar kita dengan rincian yang nyata bukan normatif. Misalnya, masalah nyata pada masyarakat sekitar adalah masalah kebodohan maka kegiatan yang dilakukan berkaitan dengan upaya untuk mencerdaskan umat, atau ketidakpedulian umat maka kegiatannya mengarah pada penumbuhan kesadaran untuk peduli pada umat. Dapat juga, umpamanya yang terjadi pada masyarakat sekitar adalah masalah kekosongan spiritual maka kegiatannya adalah dalam rangka menjawab persoalan itu, dan lain sebagainya. Pada prinsipnya, kegiatan yang dilakukan diupayakan untuk selalu berada pada upaya “problem solving” bagi permasalahan umat sekitar kita.

Peringatan Maulid Nabi, dengan demikian, menjadi suatu kegiatan yang bernas, penuh dengan solusi yang cerdas dan dinamis bagi kemajuan umat manusia seluruhnya, sesuai dengan keinginan Tuhan mengangkat Muhammad sebagai Rasul-Nya yaitu sebagi rahmatan lin ‘alamin , rahmat bagi sekalian alam. Sehingga peringatan Maulid Nabi juga mengapresiasi keinginan Tuhan tersebut.

Akan tetapi, kalau kita mencoba melaksanakan peringatan Maulid Nabi dengan metode seperti di atas, mungkinkah hanya dengan peringatan yang bersifat seremonial belaka. Jawabnya sudah pasti: Tidak. Lalu…, Bagaimana?

Kita harus melakukan perubahan yang paradigmatik dalam menyikapi hari lahir Nabi Muhammad SAW, dari yang hanya “peringatan” menjadi “Gerakan Peringatan Maulid Nabi”, suatu gerakan yang disusun secara sistematis dan terorganisir. Maka dari itu, kegiatan yang berkaitan dengan Maulid Nabi harus dilaksanakan dengan segala daya-upaya bukan dengan “sekedar saja”; yang penting terlaksana. Kita harus meninggalkan kebiasaan “sekedar saja” dalam membangun kejayaan Islam. Dan, dengan demikian, kita sudah melangkah satu langkah ke depan.

Memang untuk taraf awal, kita hanya “sekedar” melaksanakan peringatan Maulid Nabi, tapi akankah kita terus seperti ini?. Kalau ini terus kita lakukan, maka jangan mengeluh melihat kondisi umat yang seperti ini dimana Masjid belum dijadikan sebagai “rumah kedua”, kebodohan dan kemiskinan masih diderita sebagian umat Islam; umat masih merasa jauh dari Tuhannya.

Satu hal lagi, yang tak kurang pentingnya dari peringatan Maulid Nabi adalah bagaimana kita menjadikan momen Maulid sebagai upaya secara sadar untuk “melahirkan” kembali Muhammad SAW. Rasulullah memang telah wafat, tapi yang wafat hanyalah jasadnya, risalah perjuangannya yang telah diinstitusikan dalam “Sunnah Rasul” tidak boleh mati. Jadi, setiap tahun akan selalu “lahir” Muhammad yang dapat membawa pencerahan bagi kita. Kalau dahulu, pada saat Muhammad SAW masih hidup, ketika sahabat beliau ada permasalahan maka akan mudah untuk mendapatkan jawaban karena dapat langsung “curhat” kepada Baginda Rasul. Kalau kita selalu melahirkan kembali Muhammad pada setiap peringatan Maulid Nabi, maka kita pun dapat melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan para sahabat Rasul zaman dahulu, kendati pun dalam bentuk yang lain, yaitu dengan selalu merujuk pada Sunnahnya.

Hanya saja, permasalahannya sekarang, bagaimana kita dapat menghadirkan kembali Muhammad SAW dalam keseharian kita?, sedangkan kita jarang sekali mempelajari, apalagi menghayati sejarah hidup beliau, yang akhirnya-dapat dikatakan-, kita belum mengenal Muhammad SAW, kononlah lagi akan mencintainya, bahkan akan menghadirkannya dalam setiap peringatan Maulid.

Sedangkan, apabila kita telah mempelajari sejarah Rasul Muhammad, itupun menurut Muhammad Al Ghazaliy belum cukup, sebagaimana termaktub dalam bukunya pada halaman paling terakhir yang berjudul Fiqhus Sirah, yaitu, sebagai berikut:

“Mungkin anda merasa telah mempelajari kehidupan Muhammad Rasul Allah SAW. Bila anda telah mengikuti sejarah hidupnya sejak belau lahir hingga wafat. Itu adalah anggapan yang sangat keliru. Anda tidak akan memahami benar-benar riwayat kehidupan beliau kecuali jika anda telah mempelajari dan memahami isi Al Qur’anul Karim dan Sunnah Suci Rasul Allah SAW.

Seberapa dekat hubungan anda dengan seorang nabi pembawa agama Islam tergantung pada sejauh mana anda memahami dan mengamalkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya”

******

Selamat ber-Maulid Nabi, semoga kita selalu dalam upaya untuk menjadikan beliau sebagai uswah utama dalam kehidupan ini. Aamiin.

*) Penulis adalah salah satu pengurus masjid dan masih aktif di lembaga sosial masyarakat







Edisi ketujuh

DOSA AWAL

Oleh M. Azam Prihatno Azwar*)

K

alau ditanya apa dosa yang pertama kali dilakukan makhluk terhadap Tuhannya dan siapa makhluk Tuhan tersebut? Jawabnya adalah: dosa yang pertama kali terjadi adalah kesombongan dan pelakunya adalah Iblis.
Peristiwa ini diabadikan Tuhan dalam kitab suci Al-Qur’anul Karim, yaitu pada peristiwa penciptaan Adam sebagai khalifah. Ketika itu iblis dan seluruh malaikat diperintahkan Allah untuk sujud kepada Adam. AS. Seluruh malaikat menuruti perintah tersebut kecuali iblis.
Perbuatan iblis tersebut dilakukan karena adanya perasaan lebih baik dan lebih sempurna dari Adam. Merasa diri lebih, menjadikan iblis tidak mau tunduk atas perintah Allah.

Ketidaktundukan Iblis terhadap perintah Allah karena merasa diri lebih sempurna inilah yang sering kita sebut SOMBONG. Akibat dari kesombongannya tersebut Allah menurunkan laknatnya hingga akhir zaman, pada diri Iblis dan segala keturunannya. Padahal sebelum ada perintah untuk tunduk pada Adam, Iblis adalah sosok yang sangat patuh dan tunduk pada Allah, beliau selalu bertasbih dan memuji Allah.
Kesalahan yang dilakukan Iblis tidak membuat dirinya merasa salah, bahkan ia menantang Allah dengan meminta izin kepada Allah agar ia dapat menggoda Adam dan seluruh keturunannya sampai akhir zaman. Iblis dengan segala daya upayanya akan selalu mengajak manusia untuk keluar dari jalan yang lurus; untuk ingkar kepada Allah.

Ia merasa dendam dan iri kepada Adam dan seluruh keturunannya. Perasaan dendam dan iri adalah buah dari rasa sombong. Tidak akan ada dendam dan iri apabila kesobombongan tidak ada.
Ketidakpatuhan iblis terhadap perintah untuk sujud kepada Adam karena Iblis merasa bahwa dirinya yang diciptakan Allah dari api lebih jauh sempurna dibandingkan Adam yang diciptakan dari lumpur yang menjijikan. Artinya Iblis membandingkan dirinya dalam perspektif “materi yang fisikal”. Padahal Allah memerintahkan untuk sujud kepada Adam AS diajarkan dalam terminologi Al-Qur’an “nama-nama” oleh Allah. Hal tersebut menunjukkan bahwa sujud tersebut bukan pada “fisik” Adam yang terbuat dari lumpur, tetapi penghormatan terhadap “nama-nama” yang telah diajarkan kepada Adam ; penghormatan terhadap ilmu pengetahuan.
Dengan bekal pengetahuan terhadap “nama-nama” itulah, nantinya Adam akan sanggup menjalankan fungsi ke-khalifahannya di muka bumi. Hal inilah yang tidak disadari Iblis karena sifat sombongnya tersebut.
Dengan gambaran realitas yang telah digambarkan Allah dalam Al-Qur’an seperti yang telah diuraikan di atas, kita dapat mengambil pelajaran, bahwa penghormatan terhadap para pecinta ilmu telah dipertontonkan Allah sejak masa awal sejarah hadirnya makhluk yang bernama manusia.

Mungkin karena inilah maka wahyu yang pertama kali diturunkan kepada Muhammad SAW berbunyi Iqra’ yang artinya baca; Sebuah kosa kata yang sangat berkaitan dengan hal-hal yang bersifat pengetahuan.
Selain itu perbandingan diri yang dilkakukan iblis kepada Adam dari sudut fisik saja membuat sifat sombong Iblis teraktualkan. Peristiwa ini hendaknya menjadi pelajaran berbagai bagi kita, bahwa dalam “memandang” sesama manusia jangan dilihat dari fisiknya belaka, karena dengan ini kita dapat terjerumus dalam dosa kesombongan. Allah sendiri tidak menilai manusia dari fisik dan materi tetapi dari sesuatu yang sangat substansial dari fungsi manusia yaitu ketaqwaan.

Sementara itu, di saat ini, kehidupan yang berideologikan fisik dan materi semakin tubuh subur sampai ke wilayah paling pelosok di dunia ini. Segala sesuatu diukur dari fisik materi saja. Ini bisa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari di sekitar kita. Orang yang punya keluasan ilmu pengetahuan dan mempunyai sifat jujur belum tentu memperoleh akses kehidupan dengan mudah, sebaliknya, orang yang tidak jujur tetapi punya kekuatan fisik dan materi akan sangat mudah memperoleh akses kehidupan bahkan difasilitasi.Yang lebih tragis lagi, adalah ketika manusia menjual kedaulatannya dengan harga yang sangat murah-demi materil. Kejadian seperti ini biasa terjadi pada momen pemilu dan sebagainya.

Setidak-tidaknya ada tiga poin penting dari uraian kisah penciptaan khalifah pertama; yaitu:

1. Penghormatan terhadap ilmu pengetahuan.
Allah akan mengangkat beberapa derajat orang yang berilmu pengetahuan. Ini yang dijanjikan Allah. Oleh sebab itu keinginan untuk menjadi orang yang haus akan ilmu pengetahuan dan terus tanpa henti-henti mengejar ilmu pengetahuan dapat dikategorikan sebagai orang yang sedang berjihad di jalan Allah. Dan dengan ini pula Islam akan kembali menjadi agama yang berjaya, agama yang Rahmatan lil ‘alamin. Semoga…

2. Merasa diri lebih hebat (sombong)
Perbuatan sombong kalau ditelusuri secara mendalam pada dasarnya muncul karena adanya upaa untuk menutupi kekurangan diri, merasa malu kalau kekurangannya diketahui orang. Selain itu, keinginan untuk selalu dipuji, dapat juga memunculkan kesombongan. Jadi dengan demikian, kesombongan yang kita pertontonkan kepada orang lain adalah upaya untuk menipu diri sendiri dan pelan-pelan memasang jerat ke leher kehidupan kita sehingga pada saatnya kita akan selalu berada pada kehidupan yang semu, kehidupan yang absurd.

3. Kehidupan yang materialistis
Dalam filsafat ada suatu istilah yang berkaitan dengan poin ke 3 ini yaitu “reifikasi”; segala sesuatu yang diukur dengan materi.

Jadi, kalau iblis membandingkan dirinya secara materi kepada Adam, maka ia disebut “Iblis yang reifikatif”
Sedangkan kalau manusia yang menjadikan alat ukur kehidupannya dari sisi materi belaka maka ia disebut “Manusia yang reifikatif”.

Iblis-reifikatif dan manusia-reifkatif adalah identik, kedua-duanya akan membuat kualitas kehidupan manusia semakin jauh dari idealitanya. Tapi kalau kita menjadikan materi bukan sebagai alat ukur tapi “sarana” mudah-mudahan kehidupan ideal akan kita dapatkan, terutama kehidupan di akhirat kelak

Sebagaimana pula halnya dengan sosok Adam yang tubuhnya terdiri dari materi yang berwujud lumpur, bersemayan di dalamnya roh Allah dan kecerdasan ilmu pengetahuan.

*) Penulis adalah salah satu pengurus masjid dan masih aktif di lembaga sosial masyarakat