Kamis, 10 April 2008

Edisi Pertama No 11

GLOBALISASI

Oleh: M. Azam Prihatno Azwar*)

S

aat ini kita hidup di zaman yang penuh dengan keterbukaan. Setiap sudut isi muka bumi bahkan sampai ke perut bumi dapat dilihat dengan relatif mudah oleh kita. Seakan-akan tidak ada lagi hal yang bisa disembunyikan. Inilah keajaiban yang disebabkan dengan semakin canggihnya teknologi informasi. Kondisi seperti ini yang sering disebut orang dengan “era informasi”. Era dimana setiap orang dapat saling berkomunikasi seakan-akan tanpa dibatasi jarak. Manusia yang hidup di ujung dunia yang satu dengan ujung dunia yang lain dapat berinteraksi secara komunikatif dalam kecepatan nano second-sekejap mata.

Hal tersebut mengingatkan kita pada zaman Nabi Sulaiman as. Ketika itu beliau meminta kepada jin dan manusia yang bisa memindahkan dengan cepat singgasana Ratu Balqis. Jin Ifrit dapat memindahkan singgasana Ratu Balqis yang berjarak ratusan km sebelum Nabi Sulaiman a.s berdiri dari singgasananya, namun seorang hamba Allah yang shaleh dapat memindahkan singgasana tersebut dalam sekejap mata saja.

Dulu fenomena seperti itu dapat dikategorikan sebagai kejadian yang sangat luar biasa, tapi saai ini peristiwa tersebut buka mustahil dapat dilakukan oleh siapa saja yang menguasai teknologi informasi dan komunikasi. Pesatnya kemajuan teknologi informasi yang ditunjukkan dengan berseliwerannya ratusan satelit komunikasi di orbit geostationer bumi kita dan ribuan kilometer kabel serat optik di samudera kita. Sehingga kita di muka bumi ini seakan-akan, hidup di sebuah desa saja, hal ini oleh para ahli komunikasi biasa disebut hidup di “desa global” (global village).

Inilah globalisasi. Segala kejadian di muka bumi ini dapat kita ketahui dengan sangat cepat. Peristiwa bom bunuh diri di Irak dapat kita saksikan tanpa harus berkunjung ke sana. Pesan jihad yang disampaikan oleh Osama Bin laden dapat kita ketahui tanpa tahu dimana ia berada.

Globalisasi ternyata selain membawa nikmat juga nerupakan laknat bagi umat muslim. Karena informasi-informasi sesat yang merusak moral dan spiritual manusia juga dapat kita akses dengan sangat mudah, yang dapat berakibat pada rusaknya moral dan kekeringan spiritual (pseudo-spirituality). Moral dan spiritual umat Islam tercabik-cabik membentuk suatu sistem moral baru dan spiritual yang semu.

Kita saksikan bagaimana pesan moral yang terdapat pada Surat An Nuur 30 – 31 diinjak-injak dengan semena-mena oleh ”penguasa” teknologi informasi. Allah, seperti yang termaktub dalam QS An Nuur 30 – 31, menyuruh kita untuk ”menundukkan pandangan” dalam artian menahan nafsu syahwat agar tidak diumbar bebas. Namun ternyata jangankan untuk menahan pandangan, gambar-gambar tidak senonoh bisa dengan bebas disaksikan bahkan sampai ke kamar tidur anak-anak kita. Selain itu informasi-informasi “haram” menjadi tidak haram lagi karena dapat diperoleh dengan bebas oleh siapapun tanpa dibatasi jarak dan umur.

Dengan demikian, globalisasi dapat menjadi alat penjajahan modern bagi umat Islam apabila kita tidak siap mengantisipasinya. Siapa yang menguasai teknologi informasi dialah yang akan menguasai manusia, dan segala kemampuannya dapat melakukan penjajahan. Bukan penjajahan kuno tapi penjajahan modern yaitu penjajahan terhadapa moral dan spiritual manusia.


Saat ini ada sekitar 200.000 situs porno yang berkeliaran di internet dimana penikmatnya rata-rata anak muda berusia 16 tahun ke bawah dan 500 video porno asli Indonesia yang pemainnya sebagian besar anak sekolah menengah (informasi di dapat dari RRI Pro 3 pukul ± 20.00 WIB tanggal 9 April 2008). Kita bisa bayangkan betapa hancurnya akhlak umat Islam, sehingga pada saat ini kejadian hamil di luar nikah buka suatu yang memalukan lagi. Pemerkosaan hampir setiap hari kita dengar terjadi di sekitar kita. Hubungan antara laki-laki dan perempuan tidak lagi dibalut oleh kesucian cinta tapi dilingkupi oleh nafsu liar yang tidak beradab.

Selain itu pencitraan umat Islam di bentuk sedemikian rupa hingga umat Islam identik dengan agama yang penuh dengan kekerasan. Apabila kita mendengar kata terorisme maka otak kita secara tidak sadar langsung mempersepsi bahwa pelakuknya umat islam. Islam identik dengan terorisme!

Kalau kita melihat perempuan muslim yang berpakaian agak lain dari ”kebiasaan”. Umpama yang bercadar dan berjilbab panjang, warna hitam, maka akan muncul sinisme di diri kita, sedangkan perempuan yang dengan santainya mempertontonkan auratnya malah dianggap sebagai wanita modern, wanita yang tidak ketinggalan zaman. Ibu-ibu dengan bangganya menceritakan bahwa anaknya yang masih bersekolah di TK sudah dapat ”bergoyang Inul”, suatu goyang erotik yang pernah menghiasai hampir seluruh media massa di negeri ini, baik media cetak maupun media elektronik

Kesemua itu terjadi karena pesatnya kemajuan teknologi informasi yang mengakibatkan globalisasi. Ahli otak mengatakan bahwa setiap informasi yang kita tangkap maka akan merubah beberapa susunan syaraf di otak kita selanjutnya akan membentuk suatu persepsi baru di diri kita sesuai dengan bentuk informasi yang tertangkap. Jadi, kalau informasi yang terdeteksi oleh otak kita mengenai hal-hal yang bersifat porno, maka lama kelamaan otak kita akan membentuk persepsi yang bersifat porno sehingga kepornoan menjadi bagian pada diri kita.

Kalau demikian apakah kita harus bersembunyi dari arus globalisasi? Kita tidak dapat sembunyi dari globalisasi. Kita harus menghadapinya.

Dalam menghadapi era globalisasi, untuk menjadikannya sebagai nikmat bagi umat Islam, tidak ada jalan lain kecuali peningkatan efektivitas dakwah, karena dakwah juga merupakan aktivitas komunikasi, dengan cara-cara sebagai berikut:

1. makna komunikator (pendakwah) harus diperluas, bukan hanya tugas ustad atau mubaligh, akan tetapi semua kita mempunyai tugas keda’ian.isi

2. pesan dakwah juga harus diperluas, bukan hanya merujuk pada Al-Qur’an dan Sunnah belaka tapi juga pada sumber-sumber yang mencakup universum, langit bumi dan segala yang ada di antara keduanya.3.

3. media dakwah juga harus diperluas, semua media massa, seperti radio, televisi, surat kabar, majalah, internet dan sebagainya dapat dijadikan media untuk berdakwah.

4. target audiens diperluas, bukan hanya pada mereka yang ada di masjid, juga kepada mereka yang ada di kantor-kantor, pasar bahkan pada daerah-daerah yang penuh kemaksiatan seperti di lokalisasi dan dunia hiburan malam.

5. memperhatikan feedback (umpan balik) dari audiens dakwah agar kita bisa merubah strategi dakwah apabila pola yang kita pakai tidak efektif.

Dengan memperhatikan ke 5 point di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa kita tidak perlu lari dari globalisasi, namun justru dengan gloabalisasi itu pula kita dapat memperluas dakwah. Globalisasi dapat membuat para pendakwah dengan mengeluarkan energi yang kecil dapat mengasilkan hasil yang maksimal. Asal saja kita dapat menguasai teknologi informasi. Namun perlu diingat bahwa para produsen kemaksiatan juga memanfaatkan teknologi informasi.

Oleh karena itu, kalau Nabi Muhammad SAW dulu berjihad melawan kemaksiatan dengan mengggunakan pedang, kita yang hidup di era globalisasi berjihad dengan menggunakan teknologi informasi untuk melawan kemaksiatan. ??

*) Penulis adalah salah satu pengurus masjid dan masih aktif di lembaga sosial masyarakat






Tidak ada komentar: